Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 11 Januari 2010

LONTAR: Kerajaan Sadeng dan Blambangan


Kerajaan Sadeng dan Blambangan di Kabupaten Jember
Oleh : Indra G Mertowijoyo
Penetapan hari jadi Pemerintah Kabupaten Jember, yang mendasarkan pada diberlakukannya Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, pada 1 Januari 1929, menjadikan sejumlah masyarakat kecewa. Karena sumber penetapan hari jadi seperti itu sama artinya mengakui keberadaan Pemerintahan Hindia Belanda. Padahal di Kabupaten Jember, sebelumnya juga pernah berdiri sebuah kerajaan, yaitu Sadeng.

***********
Tanggal 1 Januari 2009, Pemerintah Kabupaten Jember, memasuki usianya yang ke 81. Suatu usia yang bagi sebuah kota atau daerah, sebenarnya terbilang masih sangat muda, bila dibanding daerah lain yang sudah mencapai ratusan tahun.
Mudanya usia Kabupaten Jember ini memang tidak bisa dihindari. Karena dari catatan yang ada, Pemerintah Kabupaten Jember, resmi ada sejak tanggal 1 Januari 1929. Sebelum itu, Jember masih berstatus sebagai daerah Kepatihan atau bawahan dari Karesidenan Besuki, yang berkedudukan di Bondowoso.
Bersama Bondowoso, saat itu Jember dipimpin oleh seorang Patih, yang bertanggung jawab kepada Resident Belanda, di Bondowoso. Patih pertama untuk Jember ketika itu, Raden Ngabehi Astro Dikoro. Ia menjabat sebagai patih di Jember dari tahun 1805-1908.
Jember baru resmi dinyatakan sebagai regenscap/kabupaten, setelah Pemerintah Hindia Belanda, mengeluarkan Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, dan ditertibkan 
secara resmi oleh De Aglemeene Secretaris (Sekretaris Umum Pemerintah Hindia Belanda), G.R Erdbrink, pada tanggal 21 Agustus 1928.
Dalam staatsblad tersebut dijelaskan, bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di wilayah Propinsi Jawa Timur. Ini antara lain menunjuk Regenschap Djember sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.
Semua ketentuan yang dijabarkan dalam staatsblad ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1929, sebagaimana disebutkan pada artikel akhir dari staatblad ini. Hal inilah yang kemudian memberikan keyakinan kuat kepada Pemerintah Kabupaten Jember, bahwa secara hukum Kabupaten Jember dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1929 dengan sebutan Regenschap Djember dan R.T. Ario Noto Hadinegoro sebagai Regent/Bupati pertama Kabupaten Jember.
Dilihat dari rujukan yang digunakan, penetapan tanggal 1 Januari sebagai Hari Jadi Pemerintah Kabupaten Jember, memang tidak salah. Hanya saja, penetapan hari jadi dengan merujuk pada ketentuan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, oleh sejumlah kalangan dan cerdik pandai, dinilai sangat tidak pas.
Karena sama artinya hal itu mengakui keberadaan pemerintahan penjajah Belanda, yang di mata masyarakat Indonesia, tidak lebih sebagai pembawa kesengsaraan sepanjang ratusan tahun. Karena itu, ada baiknya kalau penilaian masyarakat maupun para ahli sejarah yang seperti ini, bisa dijadikan sebagai bahan renungan.
Karena disadari atau tidak, penilaian itu menempatkan Kabupaten Jember, sebagai daerah yang tidak jelas latar belakang sejarahnya. Tidak seperti daerah lain yang lebih berani memilih peristiwa heroik sebagai acuan untuk menetapkan hari jadi/ulang tahun bagi daerahnya.
Padahal, kalau saja Pemkab Jember, sedikit mau membuka dan menguak sejarah peradaban kuno Kabupaten Jember, ada beberapa peristiwa yang mestinya bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan Hari Jadi Kabupaten Jember. Lihat saja Prasati Watu Gong, di Kaliputih, Rambipuji, dengan candrasengkala Parvatesvara yang diperkirakan berasal dari abad 5-6 M, atau  Kakawin Negarakretagama, Serat Pararaton serta Prasasti Congapan, dengan tulisan Tlah Sanak Pangilanganku atau 1088 M, yang berhasil ditemukan di Desa Karang Bayat, Kecamatan Sumberbaru.
Dalam Kakawin Negarakretagama disebutkan, jauh sebelum pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit), di daerah Jember atau tepatnya di kawasan Kecamatan Puger, pernah berdiri kerajaan kecil. Nama kerajaan ini dalam kita kuno tulisan Mpu Prapanca, disebut Sadeng dan terletak di sekitar muara Sungai Bedadung.
Kerajaan Sadeng ini akhirnya hancur, setelah pasukan Majapahit, pada masa pemerintahan Prabu Tribuwana Tunggadewi (1328-1350), menumpas habis. Penyerbuan tentara Majapahit ke Kerajaan Sadeng, yang dikenal dengan nama ekspedisi Pasadeng ini dipimpin oleh Patih Gajah Mada.
Dalam Kakawin Negarakretagama ditulis, bahwa penghancuran Kerajaan Sadeng oleh tentara Majapahit terjadi pada tahun 1331 AD (Anno Domini). Dari penjelasan Kitab Negarakretagama, yang selesai digubah oleh penulisanya, Mpu Prapanca, pada bulan Aswina1287 Saka (September Oktober 1365, hal. 299), setidaknya ada gambaran, bahwa di wilayah Kabupaten Jember pada masa itu telah terjadi peristiwa heroik, dimana masyarakat Sadeng (baca: Kabupaten Jember) melakukan perlawanan atas agresi Majapahit.
Penjelasan Negarakretagama ini juga menunjukkan, meski pada saat itu Kota Jember sendiri belum menjadi pusat kegiatan budaya dan politik, namun untuk beberapa daerahnya yang saat ini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Jember, pernah menjadi pusat kegiatan politik atau pemerintahan. Bukti adanya kegiatan budaya dan politik di wilayah Kabupaten Jember ini, bisa dilihat dari serangan Majahapit atas Sadeng, negara kecil yang terletak di kawasan pantai selatan, Kecamatan Puger.
Majapahit sebagai negara besar, agaknya tidak ingin melihat Sadeng menjadi penghalang bagi cita-citanya dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Lebih dari itu, Majapahit juga tidak ingin melihat Sadeng, yang letaknya tidak jauh dari ibukota Majapahit, tetap menjadi negara berdaulat, karena akan mengurangi kebesarannya.
Karena itu dengan segenap kekuatannya, Tribuwana Tunggadewi berusaha menurunkan pasukannya dalam jumlah besar untuk menghancurkan Sadeng. Hebatnya lagi, pada penaklukan Sadeng yang dikenal dengan nama Pasadeng tersebut, pasukan Majapahit di bawah komando langsung seorang panglima terkenal, bernama Patih Gajah Mada.
Kitab Negarakretagama, pada pupuh XLIX, pasal 3, mencatat peristiwa Sadeng dengan candrasengkala api memanah hari (1253), atau 1331 AD, Sirna musuh di Sadeng. Sedang Serat Pararaton, mencatat peristiwa Sadeng dengan candrasengkala kaya bhuta non daging (Tindakan Unsur Lihat Daging), 1256 Saka. Baik Negarakretagama maupun Pararaton menyebut peristiwa Sadeng bersamaan dengan penundukan Keta di Panarukan, Situbondo.
Nah, dari dua dokumen penting dalam menentukan sejarah lahirnya Jember ini, ada gambaran, bahwa Staatblad Belanda yang dijadikan patokan lahirnya Kabupaten Jember selama ini, sebenarnya bukan satu-satunya sumber yang bisa dijadikan acuan. Masih ada sumber lain, yang bisa dijadikan acuan dalam menetapkan hari jadi Kabupaten Jember
Sekarang tinggal kita sebagai orang Jember, apakah dasar pijakan yang akan kita gunakan mengacu dari sudut pandang Nerlando Centries. Ataukah penetapan hari jadi Kabupaten Jember harus kita kaji ulang dengan menggunakan sudut pandang Indonesia Centries.

Masyarakat Asli Kabupaten Jember
Selama ini, di kalangan masyarakat banyak yang beranggapan bahwa Jember pada masa lalu (jaman kuno), tidak ada penghuninya. Atau dengan kata lain, daerah yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Jember, merupakan hutan belantara atau tanah tak bertuan yang hanya dihuni binatang buas.
Anggapan seperti ini, seharusnya tidak pernah ada kalau saja masyarakat Jember, sedikit mengetahui sejarah daerahnya sendiri. Karena fakta sejarah adanya kehidupan masyarakat di Kabupaten Jember, sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu kala, bahkan diperkirakan sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit.
Ini bisa dilihat dari kunjungan Raja Majapahit ke 4, Prabu Hayam Wuruk, ke daerah kekuasaannya di wilayah timur (Lumajang) pada tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281) atau 1359 Masehi. Pada kunjungan ini, Mpu Prapanca, yang bertindak sebagai pencatat perjalanan Prabu Hayam Wuruk, menulis nama sejumlah daerah yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Jember.
Diantara nama daerah di wilayah Kabupaten Jember yang ditulis dalam Kakawin Negarakretagama pupub XXII, antara lain Kunir Basini, Sadeng (Puger), Balung, Kuta Blater, Bacok (Ambulu), Renes (Wirowongso, Ajung). Berdasarkan kakawin tersebut, saat memasuki wilayah Jember, Hayam Wuruk sempat bermalam di Sadeng (Puger). Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai, heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan.
Dalam kitab Negarakretagama itu juga dikatakan, setelah bermalam di Sadeng, sang penulis (Prapanca) tidak ikut berkunjung ke Bacok, tapi pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet, Galagah, Tampaling, kemudian beristirahat di Renes seraya menanti Baginda Hayam Wuruk.
Pada peristiwa lain, setelah Kerajaan Majapahit hancur, di wilayah timur Jawa Timur terjadi perebutan pengaruh antara Kerajaan Demak yang bercorak Islam dengan Kerajaan Blambangan yang bercorak Hindu. Kerajaan Demak yang berambisi besar untuk menguasai Pulau Jawa bagian timur, berusaha menaklukkan Blambangan yang merupakan kerajaan bercorak Hindu.
Namun untuk mencapai tujuan itu, Demak terlebih dahulu harus menaklukkan Pasuruan, yang merupakan kekuatan Isalam terbesar di wilayah timur Jawa Timur. Pada tahun 1545, Kerajaan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono, berhasil menaklukkan Pasuruan.
Tahun berikutnya, 1546, setelah berhasil menguasai Pasuruan, Kerajaan Demak kembali berusaha menguasai Kerajaan Blambangan, yang beribukota di Panarukan. Penyerangan yang dilakukan Demak berhasil menguasai Panarukan, ibukota Blambangan, namun dalam peristiwa itu Sultan Trenggono terbunuh. Tahun 1601, setelah Panarukan dikuasai Demak, pemerintahan Blambangan lebih memilih mundur dan memindahkan pusat pemerintahannya ke selatan, tepatnya di Kuto Dawung (Kedawung), Desa Paleran, Kecamatan Umbulsari, Jember. Di pusat pemerintahan yang baru ini, Blambangan di bawah pemerintahan dinasti baru, yakni Tawang Alun
Sekilas dari catatan dokumen sejarah ini, bisa diambil satu pemahaman, bahwa jauh sebelum kerajaan Majapahit berdiri, di wilayah Kabupaten Jember, sudah ada pemukiman penduduk. Tidak hanya itu, bahkan sebelum kunjungan Hayam Wuruk ke wilayah timur, di daerah Kabupaten Jember sekarang, juga sudah ada kegiatan politik yang pusatnya berada di Sadeng (Puger).
Dari catatan sejarah ini menunjukkan, bahwa Kabupaten Jember, pada masa dulu bukanlah daerah yang tidak bertuan atau hutan belantara. Di daerah Kabupaten Jember, pada masa dulu atau jauh sebelum Patih Astro Dikoro, (Patih afdeling Djember) sudah ada lembaga pemerintahan.
Adanya lembaga pemerintahan itu sudah barang tentu menunjukkan adanya kehidupan masyarakat yang sudah mulai teratur. Kalau memang Jember sudah sejak lama ada pemerintahan dan komunitas masyarakat, lalu apa nama dari masyarakat tersebut ?. Nah inilah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) para ahli dan pemerhati sejarah Kabupaten Jember.
Hanya saja menurut prakiraan, masyarakat yang tinggal di daerah-daerah di wilayah Kabupaten Jember sekarang, masih dari rumpun Suku Jawa. Sama dengan daerah lain, seperti Lumajang yang sampai saat ini tidak diketahui apa nama dari komunitas masyarakat yang mendiami daerah tersebut.
Padahal kalau melihat sejarahnya, Lumajang merupakan ibukota pemerintahan Majapahit bagian timur pada masa Prabu Jayanegara. Negara Lumajang atau Lamajang ini hancur serta pemimpinnya, Nambi, tewas setelah diserang Majapahit bagian barat pada tahun 1361. (*).